KERAJAAN
PAJAJARAN
Sri Baduga
Maharaja atau Prabu Siliwangi (Ratu
Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pasundan,
yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa
inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti
Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan
dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh dari
ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian
bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari
mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Kerajaan Sunda - Kerajaan Galuh dan
dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di
Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir
kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali
menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke
barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat
pada Pindahnya Ratu Pajajaran
Prabu Siliwangi
Sebuah
candi yang dibangun untuk menghormati Prabu Siliwangi di Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, Bogor, Jawa Barat.
Di Jawa Barat, Sri
Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama
Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai
lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri
Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan
kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti
saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana(kakeknya) alias
Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradi
si lama, orang
segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun
memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur
Sunda. Wangsakerta pun
mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya
ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan
anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
Indonesia:
Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut
Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
Arti nama Siliwangi
Nama Siliwangi
adalah berasal dari kata "Silih" dan "Wewangi", artinya
sebagai pengganti Prabu Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai
pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi
sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan
perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat
menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan
dijajah orang lain.
Ia berani
menghadapi pasukan besar Majapahit yang
dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang
jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur
tidak tersisa.
Ia senantiasa
mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Tatar
Sunda. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara
atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan
(rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan
rakyat Tatar Sunda. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya
ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu
Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".
Biografi
Leluhur
Kesenjangan antara
pendapat orang Sunda dengan fakta sejarah seperti yang diungkapkan di atas
mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara,
menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di
Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan
Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga
Prabu Wangisutah).
Orang Sunda tidak
memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera
Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan
bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi.
Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala
hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang
penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I
Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan
Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar
Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian,
seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai
"silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut
Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para
pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung
dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Masa muda
Waktu mudanya Sri
Baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan satu-satunya yang
pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk
Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subang Larang (istri kedua
Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sezamannya
teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang
gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Kebijakan dalam kehidupan sosial
Tindakan pertama
yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah
menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui
ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi
pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di
Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga
selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada
Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan
Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga
ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa",
"calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan
kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang
selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas
mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di
sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa.
Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa"
(pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif),
"kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1
gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra,
"upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406
disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus
membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang
atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun.
Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan,
melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare
dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih
atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang
tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian
ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa
setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur"
persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan.
Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong
selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun
khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan.
Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini
lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang
benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan
"calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja
bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja
diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis),
bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil
padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630
disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado).
Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan
calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya
tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk
dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa
atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas
umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut
kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan
keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua
dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel"
dan "Cultuurstelsel"
yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad
ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk
tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang
melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba
kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk
dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan"
yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap
tanah para pembesar setempat.
Jadi "gotong
royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala
desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional,
tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa
disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagaradalam
abad ke-5.
Piagam-piagam Sri
Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan
perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan
batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang
dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan,
desa bebas pajak.
Peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahannya
Carita Parahiyangan
Dalam sumber
sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi
purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor
kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba
di sanghiyang siksa".
(Ajaran dari
leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa
laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang
tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan
ajaran agama).
Dari Naskah ini
dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih
agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah ini
menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka,
Syarif Hidayat atau lebih dikenal Sunan Gunung Jati menghentikan
pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran.
Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh
uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka terlepas dari Pajajaran di
Tatar Pasundan (Jawa Barat dan Banten).
Ketika itu Sri
Baduga baru saja menempati Istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa).
Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di
Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung
Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon,
tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya
menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah
berunding, akhirnya Jagabaya menyerahkan diri dan masuk Islam.
Peristiwa itu
membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk
menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh
Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Cirebon adalah daerah
warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah
sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang
santri Syekh
Quro).
Cakrabuana sendiri
dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon
dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan
juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa
diterima oleh penguasa Pajajaran.
Demikianlah
situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat
dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan
parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun Pagelaran (formasi
tempur) karena Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di
laut.
Menurut sumber
Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit.
Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya
memiliki enam buah Kapal Jung 150
ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat
itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).
Keadaan makin
tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan
putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan,
yaitu:
Pangeran Hasanudin
dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
Pangeran
Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
Pangeran
Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).Perkawinan Pangeran
Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan
Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut,
Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang
sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota
Surawisesa menghubungi Panglima Imperium Portugis Afonso
de Albuquerque di Malaka yang
ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. Sebaliknya upaya
Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran
Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena
masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara
Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan
sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan
Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap
Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya,
Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang
alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil
mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan
tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat
mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga
dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut
mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda
is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan
adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan
kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa
(Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul)
setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan
1000 kapal.
Naskah Kitab
Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari
Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf ArabPegon masih
menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran
Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian
diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.
Sri Baduga
Maharaja alias Prabu Siliwangi dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di
Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara
anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar